Kamis, 10 Mei 2012

Ramadhan dan Detoksifikasi


Ramadhan dan Detoksifikasi


(Kepala Biro “SKH “Kedaulatan Rakyat” Jakarta, Chairman Forum Dialog Wartawan Politik [FDWP], SISKAL 1987-1988)

Harus diakui, Ramadhan menyimpan segudang rahasia. Begitu tersembunyinya rahasia yang dikandung bulan penuh berkah ini, sampai-sampai tiada kata yang cukup representatif untuk mengupas rahasia Ramadhan. Lihatlah, betapa nyaris setiap tahun akan selalu ada temuan baru soal Ramadhan. Begitu Ramadhan menjelang, para pakar dari segala macam keilmuan, seperti berlomba menunjukkan temuan mutakhir mereka soal bulan teristimewa bagi umat Islam ini. Sungguh menarik!
Seperti para ahli gizi yang mengupas habis soal komposisi makanan yang perlu dikonsumsi saat berbuka atau sahur. Lihat pula ahli nutrisi yang memberi aneka macam anjuran agar tubuh mampu cepat merecovery setelah kepalaran sepanjang hari. Klaimnya, hasil penelitian yang mereka ungkap sudah tuntas dan habis-habisan. Tapi tahun depan, muncul lagi temuan lain dalam bidang yang sama. Tak ada kata tuntas dan habis untuk mengupas rahasia Ramadhan.
Atau, lihat pula para ahli kesehatan yang berbicara tentang kesehatan fisik. Dengan segala bumbu-bumbunya, mereka berlomba ingin membantu mereka yang berpuasa dengan segala macam resep untuk tetap bugar meski berpuasa sepanjang hari. Belum lagi para pakar psikoterapi yang bisa dipastikan hampir semua anjuran dan temuannya beraneka ragam pula.
Bahkan para ustadz, kiai dan ulama juga mendapat porsi cukup dominan di bulan seribu bulan ini. Tak ada jarum jam bergerak tanpa siraman rohani. Dari kuliah tujuh menit (kultum), penyegaran iman, dan bermacam-macam acara lainnya yang sengaja disiapkan khusus untuk bulan puasa. Belum lagi para penggiat dunia hiburan, atau berbagai kalangan yang merasa memiliki andil untuk turut berpartisipasi memakmurkan Ramadhan.
Satu hal yang mesti diakui semua pihak dan pakar berbagai disiplin ilmu, ternyata Ramadhan merupakan suatu pola perawatan diri secara berkala yang sengaja Allah SWT desain untuk umat manusia, tanpa pandang bulu. Terbukti, melalui ayat-ayat puasa Ramadhan, Allah wajibkan pula pelaksanaannya kepada umat-umat sebelum Islam. Dalam proses kesehatan modern, puasa menempati ruang khusus bagi sebuah alternatif penyembuhan.
Sehat Fisik-Rohani
Untuk menggambarkan teramat mulianya bulan Ramadhan, mari kita bayangkan, jika selama sebelas bulan, kendaraan pribadi (mobil atau motor) kita bekerja tiada pernah berhenti. Dengan tingkat operasional yang tinggi itu, lantas kita abai memperhatikan kondisi minyak rem, minyak power steering, ganti oli dan perawatan inti lainnya. Terbayangkankah bagaimana kondisi kendaraan kita itu Bukankah sebagai sebuah organisme, ia perlu dirawat agar bisa leluasa kita gunakan untuk berbagai kegiatan
Begitu pula tubuh kita yang butuh perlakukan sama. Ia membutuhkan perawatan secara berkala. Jika sebelas bulan organ pencernaan kita tiada berhenti bekerja, organ penyerapan tak mengenal kata istirahat, dan organ pembakaran maupun pembuangan terus bersuhu tinggi karena asupan makanan yang masuk tiada henti, suatu saat pasti ia akan mengalami tekanan hebat. Kalau ini terjadi, tak perlu menunggu waktu lama stres dan depresi akan menyerang.
Selanjutnya, semua fungsi organ akan mengalami penurunan fungsi. Kalau terjadi, segala macam penyakit pun akan leluasa menyerang kita. Aneka penyakit, virus, maupun kuman jahat tinggal menunggu giliran untuk bersarang di bagian organ tubuh kita, di mana ia suka.
Apakah kondisi ini semata akan menyerang jasmani kita Tentu tidak. Hal serupa juga serta merta akan menyerang rohani kita. Karena jasmani dan rohani merupakan dua unsur yang tak mungkin pisah, dan keberadaannya memang saling melengkapi. Kalau kita berpuasa, maka kondisi fisik akan mengalami peluruhan toksin-toksin yang selama sebelas bulan bersarang di dalam tubuh.
Selama sebulan penuh, organ-organ tubuh kita akan mengalami peremajaan karena beristirahat cukup. Setelah proses ini selesai, maka bulan Syawal bukan lagi menjadi beban terlalu berat bagi jasmani dan rohani kita untuk melakukan fungsinya sedia kala.
Peluruhan toksin-toksin juga terjadi dalam proses recovery rohani ini. Kalau sebelumnya kita tidak terbiasa berbagi, maka Ramadhan mengajarkan kita untuk melakukannya. Kalau sebelumnya kita susah mengendalikan nafsu makan, maka Ramadhan mampu menahannya perlahan. Kalau sebelumnya kehendak kita nomor satukan, maka Ramadhan mengajarkan bahwa kehendak Allah harus diprioritaskan.
Maka sejak itulah, toksin-toksin dalam jiwa kita akan berluruhan bersama tumbuhnya sifat-sifat positif yang selama ini mulai aus dan tumpul. Ramadhan menyiramnya dengan air kelembutan dari mata air kehidupan.
Kalau kita sukses menjalani proses ini selama sebulan penuh, maka insyaallâh, semua toksin yang hampir setahun atau lebih memenjarakan kita secara fisik dan psikis, akan segera sirna. Maka terjadilan proses metamorfosis kehidupan kita, karena fitrah penciptaan kita kembali menjadi pelita dalam penggalan kehidupan kita selanjutnya. Semoga Allah, melalui syafa’at Nabi Muhammad SAW, berkenan membuat kita sehat lahir batin melalui puasa di bulan Ramadhan ini.
Empati Ramadhan
Setiap tahun, Ramadhan datang dan pergi. Dan setiap kali itu pula, kita melakukan penyambutan luar biasa. Yang terbiasa hidup mewah mendadak tersentuh hatinya, lalu spiritualitasnya melambung seperti hendak menuju gerbang surga. Yang hidup kepayahan, juga mendadak membubung perasaan dan harapan, seperti datang kepadanya berkah luar biasa. Dua kontras ini selalu datang seperti rutinitas tahunan. Terjadi sebagaimana diamanatkan kalender kehidupan.
Satu yang pasti, “ketercerahan” dua kelompok masyarakat ini, melahirkan sebuah jurang yang sangat lebar menganga. Yang satu, karena limpahan anugerah, membuatnya kadang tak tahu harus bagaimana menyikapi kekayaan yang dimiliki. Sementara pihak lain malah tak paham bagaimana menarik sebanyak-banyaknya berkah yang ditawarkan Ramadhan. Tetapi semua maklum, hanya Ramadhan yang mampu menjelmakan rutinitas yang menyegarkan ini.
Akibat ketidaktahuan tersebut, maka kelompok pertama sering menebar berkah kekayaannya dengan pagelaran acara buka puasa bersama di hotel-hotel mewah. Tentu berkahnya sangat jarang bisa diharap akan langsung dirasakan oleh saudara-saudaranya yang tengah kepayahan. Sedang pihak satunya malah datang berjejal-jejal seperti laron menyambangi terangnya kota untuk mengais sisa berkah yang mungkin masih bisa diberikan oleh pihak pertama. Sebuah kontras yang amat jauh dari spirit Ramadhan.
Situasi ini boleh jadi muncul karena tidak dimilikinya rasa empati yang kuat dalam menyikapi semangat Ramadhan. Padahal, puasa Ramadhan tanpa empati yang kuat, sama artinya kita berada di luar semangat Ramadhan. Puasa semacam ini, hanya akan menjadi tontotan kejahilan kita terhadap semangat keberagamaan kita. Sehingga boleh jadi, nantinya kita akan termasuk yang akan ditinggalkan Ramadhan dengan tetesan bulir airmata kesedihan. Na’ûdzubillâh!
Short URL: http://majalahqalam.com/?p=2930

Tidak ada komentar:

Posting Komentar