Kamis, 10 Mei 2012

Hukum dan Masalah Kejiwaan


Hukum dan Masalah Kejiwaan

Zubairi Hasan
Penulis buku Kenapa Berbikini Tak Langgar UU Pornografi, dan UU Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional

“Cara berpakaian adalah masalah privat. Undang-Undang (UU) tidak boleh memasukinya,” begitulah bunyi salah satu spanduk yang dibentangkan para demonstran di depan Gedung DPR-RI, bersamaan dengan pengesahan UU Pornografi, 30 Oktober 2008. “UU tidak bisa menjangkau kejiwaan warga negara,” ungkap seorang orator pada waktu dan kesempatan yang sama, dengan suara yang sangat lantang.
Pertanyaannya, bisakah UU memasuki ranah privat Bisakah UU menyentuh masalah psikologis dan masalah kejiwaan Pertanyaan ini menjadi salah satu pro-kontra yang mengiringi pembahasan dan pengesahan UU Pornografi.
Ada yang berpandangan bahwa UU tidak bisa memasuki ranah privat seseorang, karena masalah privat merupakan area yang sangat personal, sehingga tak ada yang dapat menyentuhnya, apalagi menghakiminya. “Jika masalah privat dapat dihakimi, sama saja kita mempidanakan orang yang sedang mandi telanjang bulat di kamar mandi sendirian,” demikian kira-kira alasan para pihak yang menolak pemikiran bahwa UU dapat menjangkau ranah privat seseorang.
Sementara itu, di sisi lain, ada juga pandangan bahwa ranah privat tak lepas dari konsekuensi hukum. Pelanggaran hukum tetap merupakan pelanggaran hukum, tanpa peduli apakah hal itu dilakukan di wilayah publik ataukah privat.
Tapi, ternyata di Indonesia tak ada patokan hukum yang dapat dijadikan acuan, apakah sebuah UU dapat menjerat masalah privat atau tidak. Semuanya sangat tergantung pada kekuatan politik dan lobi yang mengiringi pembahasan dan pengesahan sebuah UU. Akibatnya, tak ada konsistensi apakah Indonesia menganut paham yang membolehkan UU menjerat wilayah privat atau sebaliknya.
Sebagai contoh, dalam UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT), terdapat banyak pasal yang dapat dikatakan bahwa UU ini sudah sangat menjerat masalah privat, dalam hal ini masalah rumah tangga. Akibatnya, seorang suami dapat mempidanakan istrinya, begitu pula sebaliknya.
Bahkan, dalam UU ini juga terdapat pasal tentang larangan kekerasan psikologis. Seperti jika istri tidak mau dijima’, sementara sang suami tetap memaksa, lalu sang istri menganggap perjima’an yang terpaksa itu sebagai kekerasan psikologis, maka hal itu sudah cukup menjadi alasan untuk mempidanakan sang suami sebagai pelanggar UU KDRT. Dari UU ini kita bisa menyimpulkan bahwa UU dapat menjangkau masalah privat, bahkan juga masalah psikologis (kejiwaan).
Sebaliknya, dalam UU Pornografi ada kesan yang kuat bahwa UU ini sangat menjauhi masalah privat, sesuai dengan desakan para pihak yang menolak kehadiran UU Pornografi. Karena itulah, maka UU Pornografi tidak mengatur cara seseorang berpakaian. UU ini hanya mengatur masalah hal yang terkait dengan industri pornografi.
Karena itu, maka UU Pornografi tidak melarang perseorangan yang berpakaian seseksi apapun, sebagaimana juga tidak memerintahkan pakaian seperti itu. Jadi, seseorang yang berpakaian seksi masih tidak bisa dijerat dengan pidana pornografi.
Walau begitu, kaum perempuan yang senang mengumbar keseksiannya, tidak boleh lupa dengan pasal 533 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa setiap orang yang berpakaian seksi sehingga mengundang hasrat birahi para remaja, ia bisa dipidana dengan dua bulan penjara.
Pasal ini masih tetap berlaku, karena UU Pornografi tidak membatalkan pemberlakuannya. Dalam masalah pakaian seksi, UU Pornografi hanya tidak mengaturnya, sehingga tidak melarang, juga tidak menyuruhnya. Karena itu, pasal 533 KUHP tetap mempunyai kekuatan hukum.
Kembali ke soal pokok diskusi, dalam masalah privat yang berkaitan dengan pakaian seksi saja, peraturan perundang-undangan kita masih ambigu. Di satu sisi ada UU yang secara tegas melarang, namun di sisi lain ada UU yang tidak melarang (juga tidak memerintahkan).
Kesimpulannya, apakah sebuah UU bisa mengatur masalah privat atau tidak, sangat tergantung pada kekuatan politik dan kekuatan lobi yang mengiringinya. Untuk itu, pihak yang berkepentingan apakah sebuah UU akan diarahkan untuk mengatur masalah privat atau tidak, harus mempunyai kekuatan politik dan kekuatan lobi yang handal.
Dalam masalah UU Pornografi dan UU KDRT, organisasi massa (Ormas) Islam sangat dirugikan. Dalam UU Pornografi, Ormas Islam mempunyai aspirasi agar UU ini mengatur cara berpakaian seseorang, walaupun tidak harus menutup aurat, setidak-tidaknya tidak memancing ”hasrat birahi.”
Namun, dengan alasan cara berpakaian merupakan masalah privat, maka pembentuk UU Pornografi memenuhi tuntutan para pihak yang menolaknya, sehingga larangan terhadap ”hal yang mengundang hasrat birahi” dihapus.
Dalam masalah UU KDRT, Ormas Islam berpendapat sebaliknya bahwa masalah rumah tangga merupakan masalah privat, sehingga tak perlu diatur dalam UU. Islam juga tidak mengenal pemerkosaan suami kepada istrinya. Namun, karena tidak mempunyai kekuatan lobi yang terorganisasi, maka pembentuk UU itu mengabaikan aspirasi Ormas Islam, dan UU KDRT pun disahkan.
Tampaknya, dalam masalah lobi dan berpolitik, Ormas Islam masih perlu belajar banyak kepada Israel yang berhasil membentuk kekuatan politik dan kekuatan lobi yang handal, sehingga pembentukan UU di Amerika Serikat bisa diarahkan sesuai dengan kepentingan negara Yahudi itu.
Short URL: http://majalahqalam.com/?p=2829

Tidak ada komentar:

Posting Komentar