Kamis, 10 Mei 2012

The Living Leader


The Living Leader


Pembicara Motivation Leadership dari Mature Leadership Center
Leadership should be fun as mathematics is fun. Einstein berteori dan benar. Di tengah kerumitan selalu muncul kesederhanaan.

Banyak orang berteori tinggi, bahwa jika akan menjadi pemimpin, seorang kandidat harus lulus S1 (sarjana), kompeten (capable), cerdas, berpengalaman, atau berpengetahuan luas. Apalagi harus berperawakan meyakinkan (tidak cacat), dan seterusnya, dan seterusnya. Teori yang sifatnya personality (dari sisi luar ke dalam) itu, ‘seharusnya’ sudah runtuh, dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru. Prinsip dari dalam keluar (inside out).
Belajar dari sejarah, semua keharusan itu nyatanya tidak atau kurang relevan lagi. Jika dibandingkan dengan keharusan yang lebih fundamental, yaitu hati yang bersih (jujur), jiwa yang besar (murah hati), dan budi pekerti yang mulia (martabat). Mengapa
Sebab, kepemimpinan sekali lagi adalah logika tentang memberi manfaat kepada manusia (konstituen, rakyat, tim). Tak banyak gunanya jika banyak pemimpin punya ilmu top, berbibit-bebet-bobot, namun rakyat tetap melarat.
Tak banyak manfaatnya jika pemimpin cerdas, pandai, kaya, proaktif, atau kreatif, tapi tak mampu memberi manfaat bagi rakyatnya. Karena, tak kurang apa kebanyakan para pemimpin kita terdahulu, mereka pemimpin top, berpendidikan tinggi-tinggi, taat beragama, dan pintar-pintar. Sementara rakyat tetap saja miskin dan terbelakang, tetapi mereka sendiri kaya dan makmur (lupa keadilan).
Karena dari situ kemudian akan muncul “pemimpin monster”, yang kehilangan daya hidup dari dalam value, karakter, sikap. Kondisi ini disebut sebagai leadership dryness (kekeringan kepemimpinan). Dan dalam sosok pemimpin seperti itu tak ada kehidupan di sisi dalamnya. Ia tak bisa bersikap adil, ia cenderung akan suka egois, menang sendiri, maunya benar sendiri, enak sendiri, dan seterusnya.
Definisi Baru
Kini persoalannya bukan pemimpin yang kurang pandai, tapi justru pemimpin yang kurang punya moral. Pemimpin masa kini dan masa depan yang dibutuhkan Indonesia, adalah pemimpin yang hatinya untuk rakyat (inside out). Pemimpin yang “hidup” di dalam. Karena ia “hidup” (tidak mati) di dalam. Maka yang keluar darinya adalah segala yang hidup. Kebaikan dan kemuliaan (man for others, selfless).
Jika ia ingin kaya, rakyatnya dulu yang akan dibuat kaya. Jika ia ingin sejahtera, rakyatnya dulu yang dibuat sejahtera. Jika ia ingin meraih sukses, rakyatnya dulu yang dibuat sukses. Jika ia ingin meraih target, rakyatnya dulu yang dibantu meraih target. Dan seterusnya. Rakyat yang dimuliakan. Bukan pemimpin.
Paradigma dan definisi kepemimpinan “baru” ini, bisa kita sebut dengan “the living leadership”. Ia sudah meninggalkan pakem klasik yang dibuat di masa lampau, yang berbau sangat manajemen. Karena manajemen hanya diperlukan sebagai alat (tools), dan bukan segala-galanya.
Pemimpin yang hanya mengandalkan keahlian manajemen, ia akan gagal. Ia hanya akan ahli putar sana-putar sini fungsi manajemen, memoles proses bisnis, membongkar struktur organisasi, membuat prosedur (standard operational procedure, SOP), working instruction, dan lain-lain. Ia hanya akan berakhir sebagai ahli manajemen. Kita sudah lama sepakat, pekerjaan macam itu cukup dikerjakan manajer. Bukan oleh leader.
Sebaliknya, kepemimpinan yang mengandalkan hati, akan berhasil di mata rakyat. Akan dicintai rakyat, karena mementingkan rakyat, membawa perubahan demi rakyat, dan memberi hasil bagi rakyat. Itulah leader yang sedang dicari bangsa ini.
“Saya memang berwajah pelayan, karena tugas saya adalah melayani rakyat Iran,” begitu kalimat pembuka penuh karisma dan jiwa penuh melayani dalam wawancara Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan TV FOX beberapa bulan lalu. Pemimpin besar yang mencintai rakyat dan dicintai rakyat seperti Ahmadinejad ini, ternyata terlahir dalam krisis kepemimpinan di negeri para Mullah itu.
Menariknya, ia bukan Mullah. Bukan pula politisi, dan bukan bangsawan. Ia hanya rakyat jelata. Seorang dosen biasa yang tidak dikenal. Namun, jiwa dan kebesaran cintanya pada rakyat dengan the serving heart (hati pelayan rakyat) itulah yang mampu membuktikan premisis kepemimpinan modern (inside out) yang dibutuhkan rakyat.
Hatinya yang melebihi intelegensianya sendiri, telah membawa Ahmadinejad ke permukaan elit politik pemilihan presiden Iran tahun 2005, dan jadilah ia presiden “baru” pilihan rakyat, menggeser kepemimpinan Rafshanjani dan Khattami. Bukan dengan uang. Bukan dengan materi. Ia menang Pilpres justru dengan kekuatan cintanya (the inside, the value, the heart).
The living leadership yang dimiliki Ahmadinejad sangat kental. Ketika masih menjadi walikota Teheran, ia membiasakan diri menyapu jalan Teheran di pagi hari bersama tukang sapu jalanan. Ia sungguh melayani rakyatnya dengan tulus ikhlas.
Kualitas inilah yang membuatnya menang pemilu. Dikabarkan ia tak mempunyai cukup uang untuk memasarkan dirinya sendiri lewat poster atau spanduk. Ia berjuang dan menang lewat kekuatan cinta (the living inside).
Pemimpin Baru
Rakyat sedang merindukan pemimpin dengan kualitas besar yang mampu dengan tulus ikhlas menghidupkan dan membela rakyatnya. Seperti Ahmadinejad di Iran, Gandhi di India, atau Obama di Amerika.
Mengatasi krisis ekonomi penting. Namun yang terpenting adalah mencari the living leader yang tepat. KH Ma’ruf Amin dalam Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang Sumatera Barat, 24-26 Januari 2009 lalu mengatakan, pemimpin Islami sulit dicari. Banyak orang, partai, dan keinginan, mencari pemimpin besar itu. Lalu di manakah mereka
Yang pasti mereka tak akan kita temukan di atas pohon atau tiang listrik yang tiba-tiba nama, foto, dan janji-janjinya memenuhi kota kita. Dari mana mereka Kita tidak mengenalnya dan tidak sekalipun merasa dekat dengannya Kontribusi mereka juga tidak kita ketahui.
Saat Pemilu legislatif yang lalu, ada sebuah baliho besar di depan pohon dari partai X di Bogor yang berjanji, “Siap dihukum mati, jika korupsi.” Tapi itu baru janji.
Ada lagi di atas sebuah pohon tertera, “Saya pemimpin amanah dan bersih, siap membawa perubahan, pilihlah aku!” Yang ini bukan hanya janji, tapi malah menganggap dirinya sendiri paling hebat dan nomor satu. Kepada jenis pemimpin seperti itukah kita akan menyerahkan hidup rakyat banyak Tidak!
Humble Heart
The living leader memiliki tiga kriteria H: humble heart, high hope, dan huge result. Kebanyakan pemimpin yang tepat bagi rakyatnya, terlahir sebagai rakyat kecil, dengan hidup yang ia mulai dari paling bawah. Ia didukung rakyatnya, akan mati membawa cinta rakyatnya, dan akan dikenang sepanjang masa.
Dari Porbandar di India Barat, terlahir Mahatma Gandhi dari ayah Kaba Gandhi dan Ibu Putlibai, orangtua yang jujur, tak mudah disuap. Gandhi besar sebagai rakyat biasa dari kasta Vaisya (di bawah Brahmana dan Ksatria, tapi di atas Sudra).
Jiwa pemimpinnya yang humble, muncul karena ia didera diskriminasi dan ketidakadilan oleh lingkungannya. Hati dan jiwanya tertantang. Dari titik itulah Gandhi mulai melayani rakyatnya. Mempersembahkan hidupnya bagi orang lain. Meyakininya dengan teguh. Memperjuangkannya dengan gigih, ulet, dan tekun.
Ide Ahimsa yang ia gulirkan, adalah wujud dari cinta dan pengorbanannya yang besar bagi rakyat. Anehnya, ia tak merasa mengalahkan siapapun, dan tak pernah mau ditawari kursi PM India, hingga ia meninggal pada 30 Januari 1948.
Ken Blanchard mengatakan, “True leader starts on the inside with servant heart, then moves outward to serve others.” Ciri pemimpin yang menghidupkan rakyat, yang pertama-tama adalah dekat dengan rakyatnya. Rakyat menjadi amanahnya.
Pemimpin seperti itu, semakin hari semakin mendapat cinta dari pengikut dan pendukungnya. Mereka tak suka perang dan kekerasan. Bercitarasa damai dengan siapa saja. Mereka senantiasa memupuk dan menajamkan rasa cintanya setiap hari. Pemimpin yang mengenal rakyatnya, dan rakyat yang mengenali pemimpinnya.
Para pemimpin seperti itu dibesarkan melalui proses. Dan mereka bukan pilihan dalam “supermarket” seperti para pemimpin saat ini. Jika ada sosok bagai seorang gembala yang mencintai pengikutnya, maka merekalah sosok pemimpin yang tepat.
Pemimpin yang sebaiknya kita pilih adalah yang kita ketahui, dan telah melalui proses pematangan sebelumnya di masyarakat. Ia dekat dengan kita. Bukan yang tiba-tiba ingin mendekati rakyat hanya ketika menjelang Pemilu atau Pilpres. Karena pemimpin tipe itu adalah pemimpin “laron” (bukan living).
High Hope
Pemimpin besar lainnya, Barry Obama, yang lahir di Hawai 1961 dan pernah besar di Jakarta, juga berasal dari keluarga biasa. Ayahnya Barack Husein Obama orang Kenya, dan Ann Dunham, ibunya orang Kansas Amerika. Mereka membesarkan Obama dengan cara-cara biasa, dengan tekanan minoritas khas Amerika.
Namun, hati dan jiwanya berhasil membuka tekanan ketidakadilan dan diskriminasi secara perlahan, dengan perjuangan semenjak kuliah di Harvard Law School. Ia terus perjuangkan undang-undang, melakukan advokasi hukum dan politik bagi rakyat Amerika. “Kekuatan cintanya yang membara bagai api di horison,” puji presiden Venezuela Hugo Chavez.
Ia tidak mendadak terjun dari langit. Ia dekat dengan rakyatnya. Menyatu bersama warganya di Illinois sebagai Senator yunior, dan menawarkan harapan besar bagi rakyatnya. Yaitu perubahan kehidupan. The New America.
Gandhi dan Obama sama-sama dekat dengan rakyatnya. Membawa misi perubahan dan menunjukkan kinerja mereka dalam takaran yang berbeda. Ketika mereka berjuang, agenda rakyat yang mereka perjuangkan. Dan ketika berbicara, rakyat yang akan pertama kali disebutkan dalam kata-kata mereka. Ketika bernegosiasi, rakyat yang diuntungkan dan dimenangkan. Bukan diri mereka sendiri.
Hati dan jiwanya sungguh tumbuh bersama hati dan jiwa rakyatnya. Mereka menjadi satu. Sangat dekat dan saling mendukung (synergy in unity).
The living leader, akan membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Minimal, perubahan dalam hal human development index (HDI). Mereka tak pernah memakai cara kontrak-kontrak politik yang rumit, yang jika masa kontraknya habis ia akan pindah ke tempat lain.
Sudah saatnya kita menjadi lebih mudah mengenali pemimpin yang layak dipilih. Pertama, yang tidak sekedar menyuarakan perubahan dan pemihakan kepada rakyat kecil (wong cilik). Tetapi, harus disertai program kerja yang realistis. Seperti yang dicontohkan Obama.
Kedua, bukan yang paling kencang teriakannya tentang perubahan, dengan iklan paling banyak di media massa. Tetapi, yang impiannya lebih masuk akal, wajar, dan dapat diterima oleh akal sehat rakyat biasa. Ketika rakyat mendengarkannya, rakyat akan tersentuh dan hatinya tergerak untuk mendukung mati-matian.
Huge Result
Jim Collins dalam bukunya Good to Great, membantu kita membuat pilihan kita tentang pemimpin menjadi lebih mudah. Menurutnya, pilihlah pemimpin yang hanya kita ketahui sudah mampu menunjukkan kinerja yang bagus, di level yang paling kecil dan terendah.
Karena, dari level rendah inilah kita lebih mudah mengujinya. Catatan kinerjanya dapat kita lihatm dan analisis. Dari situlah kita dapat membuat keputusan: pemimpin yang telah terbukti bekerja baik di level akar rumput di bidangnya.
Logikanya, merekalah pilihan terdekat kita yang sudah kita ketahui kinerjanya (tidak “gelap kinerja”). Jika mereka sukses dan dapat dipercaya untuk tanggungjawab yang kecil, maka mereka akan lebih mungkin sukses dan lebih mampu menangani tanggungjawab yang besar.
David Bohm, ahli fisika kenamaan mengatakan, ada koneksitas (connectedness) antara hal yang kecil dan besar. “Everything is connected,” katanya. Sosok yang besar, bukan muncul dari besarnya janji. Tapi, dari nilai-nilai (value), yang dicerminkan oleh perbuatannya, dan kinerja yang nyata (action, execution).
Hati yang besar akan menggerakkan pengorbanan. Dan begitu ada pengorbanan, maka hasilnya akan besar. Satu-satunya cara termudah menilai kinerjanya adalah melihat dampak kerjany terhadap kesejahteraan rakyat. Semakin banyak rakyat yang sehat, tidak lapar, berpendidikan, dan seterusnya itulah bukti pengorbanannya. Jika indikator yang kasat mata itu tidak nampak, maka lupakan saja ia. Entah itu siapa.
Short URL: http://majalahqalam.com/?p=2681

Tidak ada komentar:

Posting Komentar