KEBUDAYAAN TIONGHOA DI INDONESIA
Pada kali ini saya akan mempostingkan tentang
kebudayaan di Indonesia dari awal keturunan tionghoa datang ke Indonesia serta
sejarah-sejarahnya.
Suku bangsa Tionghoa
(biasa disebut juga Cina) di Indonesia
adalah salah satu etnis di Indonesia.
Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang
(Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka).
Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang") atau lazim disebut Huaren
(Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana : 华人) . Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan
kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan
yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara
menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, Hanyu Pinyin:
Hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi
secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan.
Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara
telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang
kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari
Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang
Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku
dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.[
Asal
kata
Kata Tionghwa telah digunakan dalam
surat setia kepada tentara Nippon ini.
Tionghoa atau tionghwa, adalah
istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang
berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya
sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina
untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang
lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina
yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok orang asal Cina yang
anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan
bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah
naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong
Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan
pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan
orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah
"Cina" menjadi "Tionghoa"
di Hindia Belanda.
Populasi
di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada
masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%)
dari penduduk Indonesia pada tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah
populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka.
Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah
memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000
(2,5%) pada tahun 1961.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden
sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan
populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya
mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran
4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Daerah
asal di Cina
Ramainya interaksi perdagangan di
daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga
merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia
Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap
tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang
disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk
menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina
untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia,
umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku:
Daerah asal yang terkonsentrasi di
pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah
menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou
pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada
zaman tersebut.
Daerah
konsentrasi
- Hakka - Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera
Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan
Barat,Banjarmasin, Sulawesi
Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.
- Hainan - Pekanbaru, Batam, dan Manado.
- Hokkien - Sumatera Utara, Riau ( Pekanbaru, Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.
- Kantonis - Jakarta, Medan , Makassar dan Manado.
- Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
- Tiochiu - Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, dan Kalimantan
Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Di Tangerang Banten, masyarakat
Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat
perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain.
Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah
tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina,
Jawa, Sunda dan Melayu.
Sejarah
Masa-masa
awal
Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang)
di jalanan Batavia
pertengahan tahun 1910-an.
Orang dari Tiongkok daratan telah
ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Dengan berkembangnya
kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan,
terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang
menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu
bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang
berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana.
Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
Catatan Ma Huan,
ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho,
menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota
bandar Majapahit
(abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.
Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong,
sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti
ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga
Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut
"Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po
Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini
Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan
bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit.
Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok,
meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur
Tionghoa.
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang
menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane
(sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah
kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka
terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Era
kolonial
Sepasang mempelai Tionghoa di
Salatiga, circa 1918
Di masa kolonial, Belanda pernah
mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang
diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas
Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat
umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di
Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (ke-dua).
Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta
Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9
Oktober 1740 di Batavia
Sebetulnya terdapat juga kelompok
Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama
etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743.[rujukan?]
Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam
"Republik" Lanfong[rujukan?]
berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra
kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal
atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [14][15][4]
melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa
kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini
mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.
Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan
di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Daerah Pecinan di Banjarmasin.
Pendidikan
Kebangkitan
nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas
dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret
1900
terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota
Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi
saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay
dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian
jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah
tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang
mendirikan Djamiat-ul Chair
meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang
pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Perekonomian
Target pemerintah kolonial untuk
mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel
dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang
Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri,
orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha
makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan,
batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat
Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee
(kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di
Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari
pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi
paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta.
Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pergerakan
Pemerintah kolonial Belanda makin
kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Cina, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam
bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan
perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam
bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan
bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun
warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa
membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan
diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda,
kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi
Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk
bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir,
antara lain Kwee Tiam Hong
dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po
sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam
menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po
memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua
penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai
balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan
kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai
Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Masa
Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI
Pada masa revolusi tahun 1945-an,
Mayor John Lie
yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan
Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh
Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari
Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45
terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa,
Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing,
sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa
pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan
diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu
orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pasca
kemerdekaan
Orde
Lama
Pada Orde Lama, terdapat beberapa
menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah
satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh
dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama
terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran
di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak
yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab
keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
Orde
Baru
Selama Orde Baru dilakukan penerapan
ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya
ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta
keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara
esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa
pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa
juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai
warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian
barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh
komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional
karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat
yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu
kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme
di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari
kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia
politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru,
terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi
masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut
menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami
pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Reformasi
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah
banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia.
Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan
adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap
masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi
Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi
pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa
menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya.
Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Hasyim Muzadi menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya
untuk menarik minat warga Tionghoa.
Kerusuhan
Rasial terhadap Warga Tionghoa di Indonesia
Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa
etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa
rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di
Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan,
Bandung, Solo ,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.
Beberapa contoh kerusuhan rasial
yang terjadi yaitu :
- Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan
Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus
Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi.
Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke
kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
- Desember, tahun 1966. Sekolah- sekolah Cina di
Indonesia ditutup pada bulan Desember.
- Jakarta, tahun 1967. Koran- koran berbahasa Cina
ditutup oleh pemerintah.
April, gereja- gereja diserang di
Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
- Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan antara
orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang
berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara
pemakaman.
- Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan
toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas
yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
- Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan sebuah
gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil
orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
- Jakarta, tahun 1978. Pelarangan penggunaan karakter-
karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
- Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu
rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati
karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak.
Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
- Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU
bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku
peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
- Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo dan
merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian
pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang
pemuda suku peranakan TiongHoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan
dan pembakaran toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
- Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga
dianiaya oleh majikannya suku peranakan TiongHoa. Kejadian itu memancing
kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik
orang-orang TiongHoa.
- Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung, pedagang
kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan
jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang
Tiong Hoa.
- Bandung, 14 Januari 1996. Massa mengamuk seusai
pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang
Tiong Hoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak
punya karcis.
- Rengasdengklok, 30 Januari 1997. Mula-mula ada seorang
suku peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh.
Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko
TiongHoa.
- Ujungpandang, 15 September 1997. Benny Karre, seorang
keturunan Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak
pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.
- Februari 1998. Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores,
Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara:
Januari – Anti Tionghua
- Kerusuhan Mei 1998. Salah satu contoh kerusuhan rasial
yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei
1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan
dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan
Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan
Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan
mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan
diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam
kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang
terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan
batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Sampai
bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan
apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei
1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan
fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada
pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada
bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut. Sebab dan alasan
kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai
hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini
merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa
pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan
pembasmian orang-orang tersebut.
- 5-8 Mei 1998. Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam,
Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu,
Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan
politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.
- Jakarta, 13-14 Mei 1998. Kemarahan massa akibat
penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok
politik tertentu jadi kerusuhan anti Cina. Peristiwa ini merupakan
persitiwa anti Cina paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.
- Solo, 14 Mei 1998. Ketidakpuasan politik yang kemudian
digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghua.
Peran
Warga Tionghoa Bagi Republik Indonesia
Peran
Ekonomi
Peran
Sosial Budaya dan Pendidikan
Didirikannya sekolah-sekolah
Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong
berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan
sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan
sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru,
angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian
komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa
Indonesia.
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia
juga terlihat dalam koran Sin Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan
teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama Sie Kok Liong
memang sangat jarang didengar oleh masyarakat Indonesia,
namun Sie Kok Liong
merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda
dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok
Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta
tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak
tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di
luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung
Kramat 106 milik Sie Kok Liong.
Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering
berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan
sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat
diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah
Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926.
Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang
diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini
sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu
tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928.
Universitas
Trisakti yang kini menjadi salah satu
universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga
Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para
petinggi Baperki
yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno
nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan
sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti
hingga sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid
diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari
pembangunan Mesjid Raya Medan.
Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun
bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Saat ini di Taman
Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya
Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI.
Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya
kurang lebih 50 milyar rupiah